Rabu, 30 September 2015

MAKALAH SEJARAH " PERTEMPURAN SURABAYA"



MAKALAH SEJARAH
PERTEMPURAN SURABAYA
Guru Pembimbing: Sukaimi, S.Pd.
DI SUSUN OLEH :   KELOMPOK 1
                                                                                             ®              Nisa karlina
                                                                                             ®              Nor janah
                                                                                             ®              Risda astuti
                                                                                             ®              Salamah

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat, taufik serta hidayah-Nya, kami dapat membuat makalah SEJARAH ini yang berjudul “PERTEMPURAN SURABAYA” kami dapat menyelesaikan dengan baik sesuai dan dengan waktu yang telah ditentukan,
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan ada nya penyusunan makalah seperti ini. Makalah ini dibuat dengan sedemikian rupa agar kalian dengan mudah mempelajari dan memahami pelajaran yang ada dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenai tu, kritik dan saran sangat berguna bagi pembuatan dan penyempurnaan selanjutnya. Selain itu, ucapan terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya, jazakumullahu khairan katsira.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.


Muara Uya,13 Mei 2015
 
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
B.   PROSES PERTEMPURAN SURABAYA
Para pemuda yang memegang senjata diperintahkan untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Surabaya. Pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat. Rakyat Surabaya bertekad untuk bertempur mati-matian. Kejadian itu merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekad dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa 10 November itu diperingati setiap tahun sebagai hari Pahlawan oleh seluruh bangsa Indonesia.

v Penyebab Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan 17 agustus 1945. Segala cara dilakukan untuk menyebarkannya. Tujuannya, agar rakyat di berbagai daerah mengetahui kemerdekaan indonesia. Di Surabaya, berita proklamasi diketahui pada tanggal 20 Agustus 1945. Berita tersebut dimuat dalam surat kabar Soeara Asia. Berita proklamasi kemudian tersebar luas ke seluruh Surabaya. Para pemuda dan rakyat Surabaya melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun, usaha ini mendapat halangan dari tentara Jepang dan para Indo-Belanda yang ada di Surabaya.
Pasukan sekutu mendarat di Surabaya tanggal 25 oktober 1945 dibawah pimpinan A.W.S. Mallaby dari inggris. Kedatangan tentara sekutu yang diboncengi NICA tersebut semakin menimbulkan kecurigaan pemuda surabaya karena tentara sekutu segera membebaskan orang-orang belanda yang ditahan jepang dan menduduki pelabuhan tanjung perak serta gedung internatio. Pada tanggal 27 oktober 1945,pesawat terbang inggris menyebarkn pamflet yang memerintahkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tentara jepang. Melihat gerakan sekutu, para pemuda surabaya segera melakukan perlawanan sehingga terjadilah bentrokan bersenjata secara sporadis dikota surabaya selama 3 hari sejak tanggal 28 oktober sampai 30 oktober 1945. Sekitar 20.000 pasukan TKR dan 120.000 pemuda pejuang melakukan perlawanan sengit terhadap tentara inggris.dalam pertempuran tersebut ,pasukan inggris dapat dipukul mundur .bahkan jendral Mallaby dapat ditawan oleh para pemuda surabaya,dan sekutu prgi menghadap presiden Sukarno,wakil presiden Hatta, dan menteri penerangan Amir syarifuddin untuk merundingkan gencatan senjata dengan panglima sekutu jenderal Sir Philip Christison dan menetapknan tanggal 30 oktober1945 sebagai dimulainya gencatan senjata.
Sehari kemudian, tentara sekutu menyerang penjara Kalisosok. Tindakan Sekutu terus berlanjut. Mereka juga menduduki Pelabuhan Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek penting lainnya.

Tindakan tentara sekutu menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Pada tanggal 28 Oktober 1945, pertempuran meluas di beberapa tempat di Surabaya. Untuk meredakan situasi maka Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Amir Syafiruddin, dan Jendral Hawtron melakukan perundiangan gencatan senjata.

Pengumuman gencatan senjata telah disebarluaskan ke wilayah Surabaya. Namun, pertempuran masih berkecamuk di beberapa tempat. Brigjen Mallaby dan pasukannya bertahan di Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah. Terjadi tembak-menembak antara pasukan Inggris dan Para Pemuda. Dalam peristiwa tersebut, Mallaby terbunuh.

Kematian Mallaby membuat sekutu marah. Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat di Surabaya. Ultimatum dikeluarkan tanggal 9 November 1945. Isi ultimatum ini adalah agar warga Surabaya menyerahkan diri pada sekutu. Batas akhir penyerahan diri adalah pukul 06.00 WIB tanggal 10 November 1945.

Rakyat Surabaya tidak gentar. Mereka tidak menghiraukan ultimatum sekutu. Pertempuranpun terjadi pada tanggal 10 November 1945. Kota Surabaya diserang dari darat, laut, dan udara. Rakyat surabaya berjuang mempertahankan kemerdekaan. Mereka dipimpin Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan kolonel Sungkono. Pertempuran berlangsung selama tiga minggu.

C.   KRONOLOGI PERTEMPURAN SURABAYA
Sebab-Sebab dan juga kejadian Perang itu sendiri..supaya lebih menarik sebagai sebuah bacaan untuk belajar tentang Sejarah Bangsa Indonesia, khususnya semangat Arek-arek Suroboyo pada waktu itu dalam mengusir penjajah
Ä     23 September 1945
Kapten Huijer dari Angkatan Laut Belanda adalah wakil sekutu pertama yang menjejakan kakinya di Surabaya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan ini mengindikasikan bahwa Belanda-lah yang akan mempelopori pengambil-alihan Surabaya dari Jepang setelah ‘kesalahan-kesalahan’ pasukan Inggris ketika mengambil alih Semarang.

Ä     28 September 1945
Huijer mendatangi markas Laksamana Madya Yaichiro Shibata, pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Surabaya, agar melimpahkan seluruh kekuasaannya termasuk senjata yang berada di bawah komando dirinya kepada Huijer. Namun demikian sebagaimana sikap kaigun yang lain (seperti Laksamana Maeda di Jakarta), Shibata sangat simpati dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh karena itu ia menyerahkan senjata kepada Komite Nasional Indonesia Surabaya (KNI-Surabaya) yang dipimpin oleh Soedirman dan Doel Arnowo. KNI-Surabaya sendiri berjanji akan menyerahkannya kepada sekutu pada waktunya.
Tetapi KNI-Surabaya tidak memiliki kemampuan untuk mengelola persenjataan bekas tentara angkatan laut Jepang sehingga mereka menyerahkannya ke Badan Keamanan Rakyat (BKR), kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi dan bahkan milisi/laskar yang masih belum terorganisir dengan baik.

Ä     1 Oktober 1945
Terjadi perkelahian diantara pemuda-pemuda Indonesia dan Belanda yang dengan cepat berubah menjadi aksi massa di seluruh kota. Mereka menyerang lapangan udara Morokrembangan dan kamp interniran yang terletak di daerah pemukiman Darmo. Sementara itu markas Kempetai dan Angkatan Darat Jepang dikepung oleh sejumlah laskar yang bersenjatakan apa adanya, dari bambu runcing hingga ke senapan mesin.

Ä     4 Oktober 1945
Surabaya telah menjadi kamp bersenjata yang seluruhnya dalam tangan Indonesia. Semua penjara dibuka dan penghuni-penghuninya, apakah mereka ditahan atas tuduhan politik atau pidana telah bergabung ke dalam massa yang berkerumun di dalam kota itu. Pada hari itu juga Shibata memberitahukan kepada bawahannya bahwa Huijer-lah yang bertanggung jawab atas keamanan kota tersebut.

Ä     8 Oktober 1945
Gubernur, TKR dan polisi berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, yang kemudian seluruhnya terseret menjadi ‘anarki’. Rasa permusuhan terhadap Jepang dan Belanda yang begitu mendalam di kalangan pemuda, menyebabkan mereka melaksanakan pengadilan rakyat yang membabi-buta yaitu dengan menghukum mati para tawanan (Jepang, khususnya) dengan melakukan hukuman mati dengan cara pemenggalan leher.
Kapten Huijer pun menjadi tahanan TKR demi keselamatan dirinya.

Ä     12 Oktober 1945
Tiba seorang pemuda dari Jakarta yang bernama Soetomo atau yang kemudian dikenal dengan nama Bung Tomo, seorang wartawan yang bekerja di kantor berita Domei. Ia membawa gagasan mendirikan pemancar radio, yang kemudian diberi nama “Radio Pemberontakan” sebagai sarana untuk menciptakan solidaritas massa dan memperbesar semangat perjuangan pemuda

Ä     13 Oktober 1945
Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), sebagai suatu organisasi yang terpisah dari PRI yang dipimpin oleh Soemarsono. Dan siaran-siaran radio yang dilakukan oleh Bung Tomo tidak hanya berhasil mempengaruhi masyarakat santri yang memang menjadi mayoritas di Jawa Timur dan Madura, namun juga pemimpin-pemimpin “merah” terutama yang berada di dalam PRI.

Ä     22 Oktober 1945
Nahdhatul Ulama dari seluruh Jawa dan Madura melangsungkan rapat raksasa di Surabaya yang mana mereka menuntut, “Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia soepaja menentukan soeatoe sikap dan tindakan jang njata terhadap tiap2 oesaha jang membahajakan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannja” (Antara, 25 Oktober 1945)

Ä     25 Oktober 1945
Inggris mendarat di Tanjung Perak Surabya dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby yang juga merupakan Panglima Brigade ke-49 dengan tugas utama mengungsikan pasukan Jepang dan para interniran. Brigade ini berjumlah kurang lebih enam ribu pasukan dengan membawa juga pasukan elit Gurkha.
Selanjutnya Mallaby sendiri dan wakilnya, Kolonel Pugh, pertama-tama disambut oleh Mustopo, kepala TKR-Surabaya, dan Atmadji, bekas aktivis Gerindo, yang mewakili TKR Angkatan Laut. Setelah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Mustopo, Mallaby menegaskan bahwa sekutu tidak akan menyelundupkan di tengah-tengah mereka pasukan Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administrastion).

Ä     26 Oktober 1945
Tanpa data intelejen yang komprehensif tentang kondisi Surabaya dan masyarakatnya yang sedang bergolak, Mallaby mengirim 1 peleton pasukan yang dipimpin oleh Kapten Shaw untuk menyelamatkan Kapten Huijer. Masyarakat Surabaya mulai kehilangan kepercayaan terhadap Mallaby dan pasukannya.
Kondisi diperparah dengan selebaran yang disebarkan melalui udara ke seluruh kota di Surabaya atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn, panglima sekutu di Jakarta. Selebaran itu intinya berisi bahwa pihak Indonesia harus menyerahkan seluruh senjata mereka dalam waktu 48 jam. Tuntutan seperti ini akhirnya membatalkan perjanjian yang telah dilakukan oleh Mallaby dan Moestopo.

Ä     27 Oktober 1945
Sekutu mulai melakukan agresinya. Pada dasarnya komandan-komandan sekutu masih memandang rendah terhadap kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Apalagi mereka begitu membanggakan brigade 49-nya dengan mendapatkan julukan “The Fighting Cock” selama bertempur melawan Jepang di hutan-hutan Burma.

Ä     28 Oktober 1945
Pasukan sekutu mengambil alih lapangan udara Morokrembangan dan beberapa gedung penting seperti kantor jawatan kereta api, pusat telephon dan telegraf, rumah sakit Darmo dna lainnya.
Pertempuran besar pun tak terelakan antara 6000 pasukan Inggris dengan 120.000 tentara dan pemuda Indonesia. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghetikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.
Begitu terjepitnya hingga dalam buku Donnison “The Fighting Cock” ditulis “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya.

Ä     29 Oktober 1945
Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoedddin datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Kemudian setelah membujuk agar tentara dan pemuda menghentikan pertempuran, mereka bertiga ditambah tokoh-tokoh Surabaya seperti Soedirman, Soengkono, Soerjo dan Bung Tomo melakukan perundingan dengan Mallaby dan Hawthorn. Hasil perundingannya adalah tentara sekutu sepakat untuk mundur dari Tanjung Perak dan Darmo, sementara Indonesia setuju mengizinkan interniran lewat secara bebas diantara kedua sektor itu.

Ä     30 Oktober 1945  
Sewaktu melakukan patroli, mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.
Kematian Jenderal Inggris itu menjadi titik tolak untuk peristiwa-peristiwa yang lebih dasyat berikutnya. Letnan Jenderal Christinson, komandan Pasukan Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI) memberikan peringatan keras terhadap Indonesia. Ia kemudian mengirimkan seluruh Divisi Infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya dibawah pimpinan Mayor Jenderal Mansergh. Kekuatannya berjumlah sekitar 15.000 pasukan.

Ä     1 November 1945
Kapal perang HMS Sussex muncul di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selama minggu berikutnya sekitar 8000 interniran berhasil dipindahkan ke kapal perang.

d. Tiga Tokoh Jadi Pemeran Utama Saat Pertempuran 10 November

Senin, 10 November 2014 15:39
surya/ahmad zaimul haq
Pementasan teater kolosal Surabaya Membara, dalam rangka menyambut peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember di Jl Pahlawan depan kantor Gubernur, Minggu (9/11/2014).
SURYA Online, SURABAYA - Pertempuran legendaris di Surabaya pada 1945 silam selalu diidentikkan dengan nama Sutomo atau yang akrab disapa Bung Tomo.
Padahal, dalam catatan sejarah 'embongan’ ada nama lain yang berperan jauh lebih besar dari Bung Tomo yang lebih menonjol dengan pidato agitatifnya ketika Arek-arek Suroboyo berjibaku melawan tentara Sekutu dan Belanda.
Banyak orang tidak tahu, peran utama dalam pertempuran yang menyedot mata dunia itu dimainkan orang-orang macam HR Mohamad Mangoendiprodjo, Soengkono, dan Moestopo.
Bahkan, dalam buku Pertempuran 10 November 1945 diceritakan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta menjuluki Moestopo sebagai ‘pemberontak’.
“Memang, lebih baik berontak mati dalam perjuangan daripada dijajah bangsa asing lagi,” kata Moestopo kepada Bung Karno dan Bung Hatta di Surabaya sebelum perang meletus, dikutip dari buku Pertempuran 10 November 1945.
Moestopo saat itu dikenal sebagai dokter gigi yang menjabat Menteri Pertahanan ad Interim.
                                                                                                                                       
Moestopo juga menjabat Kepala Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jatim, sedangkan Soengkono sebagai Kepala BKR Surabaya.

e.    Akibat dari pertempuran Surabaya

Peristiwa pertempuran pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya sebenarnya merupakan dampak yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa sebelumnya mulai dari kedatangan pasukan Jepang di Indonesia pada tanggal 1 maret 1942 yang kemudian melahirkan perjanjian kalijati antara Jepang dan Belanda. Namun hal utama yang menjadi latar belakang pertempuran Surabaya adalah pengibaran bendera Belanda di hotel Yamato pada tanggal 18 September 1945.      
Para pemuda Surabaya yang terkenal dengan sebutan arek-arek Surabaya jelas merasa gusar melihat tindakan Belanda yang tidak menghargai dan tanpa ijin mengibarkan bendera merah-putih-biru di wilayah Indonesia. Republik Indonesia yang saat itu secara resmi telah memproklamasikan kemerdekaan jelas merasa dicemooh oleh tindakan Belanda ini. Arek-arek Surabaya tidak tinggal diam melihat kesewenangan Belanda di tanah air yang dapat disimpulkan bahwa mereka ingin menunjukkan kekuasaannya kembali di Indonesia. Lagi pula kobar semangat arek-arek Surabaya yang pada saat itu tengah melakukan aksi pengibaran merah-putih di segala penjuru secara langsung berkumpul di depan halaman hotel Yamato.         
Pada tanggal 18 September 1945 tersebut memang terjadi suatu diplomasi antara pihak Indonesia dan Belanda di dalam hotel Yamato yakni dengan datangnya Soedirman sebagai wakil Pemerintahan Indonesia dengan dikawal ketat oleh Hariyono dan Sidik untuk berunding dengan Pihak Belanda yang diwakili oleh Mr. Ploegman beserta pasukan. Dalam diplomasi tersebut Belanda menolak untuk menurunkan benderanya dari puncak tertinggi hotel Yamato dan justru menyerang pihak Indonesia dengan mengeluarkan pistol. Sidik sebagai pengawal dan bertugas menjaga Soedirman tentu secara reflek menyerang kembali Poegman hingga tewas. Namun sayang Sidik sendiri kemudian tewas ditangan pasukan Belanda.       
Soedirman bersama Hariyanto yang berusaha keluar mencari perlindungan dari serangan pasukan Belanda akhirnya disambut oleh arek-arek Surabaya yang tengah berkumpul di luar hotel. Selanjutnya Soedirman bersama Kusno Wibowo kembali masuk dalam hotel dan memanjat tiang bendera unuk merobek warna biru bendera Belanda dan kemudian mengibarkannya kembali menjadi merah-putih.
Hal tersebut menjadi latar belakang pertempuran Surabaya yang kemudian secara berentet terjadi pertempuran pada tanggal 27 Oktober antara arek-arek Surabaya melawan Inggris yang pada saat itu memihak Belanda. Pertempuran ini terus terjadi hingga Jenderal Hawthorn meminta Presiden RI untuk meredakan pertempuran. Pada tanggal 29 Oktober perjanjian diplomasi antara Indonesia dan Inggris ditandatangani dengan adanya genjatan senjata. Namun pada hari berikutnya karena masih labilnya kondisi psikis para pasukan baik dari Indonesia maupun Inggris kembali terjadi pertempuran antara Indonesia dengan pihak AFNEI/ inggris yang menewaskan Jenderal Mallaby.
Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Setelah peristiwa yang menewaskan Jenderal Mallaby tersebut pihak Inggris mengutus Robert Mansergh sebagai penggantinya yang kemudian mengeluarkan ultimatum terhadap pihak Indonesia agar para tentara maupun pemuda yang bersenjata menyerahkan diri dengan batas akhir tanggal 10 November 1945 serta menyerahkan senjata mereka sebelum jam enam pagi.
            Ultimatum yang dikeluarkan pihak Inggris tersebut jelas membakar amarah para pejuang hingga menolak semua keinginan tersebut. Hari bersejarah tersebut benar-benar datang dimana pada tanggal 10  November pasukan Inggris secara membabi buta melakukan serangan terhadap pasukan Indonesia dan rakyat di Surabaya. Kendaraan tempur seperti pesawat dan tank milik Inggris semua dikerahkan untuk membungihanguskan Surabaya. Serangan udara dengan menjatuhi bom daerah-daerah pemerintahan Surabaya jelas mengakibatkan banyaknya korban jiwa dari pihak Indonesia.           
Siapa yang tak marah jika tanah air mereka diusik oleh pihak luar. Hal ini pula yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh pejuang seperti Bung Tomo dan KH. Hasyim Asy’ari untuk mengkoordinir semua kalangan mulai dari pasukan bersenjata, para santri, bahkan rakyat sipil semuanya bersatu untuk melawan kesewenangan Inggris.           
Pertempuran 10 November 1945 menjadi pertempuran terbesar sepanjang perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Ribuan rakyat Indonesia tewas dalam pertempuran tersebut begitu pula dengan pihak Inggris. Pasukan yang didatangkan dari India juga menjadi korban dari pertempuran tersebut.    
Tercatat lebih dari 10.000 rakyat Indonesia dan juga pasukan Inggris tewas dalam pertempuran Surabaya.
Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

2 komentar: